Matahari belum
muncul dari ufuk timur, aku terbangun dari tidur panjangku, bergegas aku menuju
kekamar mandi untuk mengambil wudhu dan segera melaksanakan shalat. Makasih ya Allah,
engkau masih memberi hamba kesempatan untuk menikmati pagimu yang cerah ini,
semoga dihari ini aku bisa menjadi yang lebih lagi dari hari-hari kemarinku,
semoga hariku bisa membawa berkah, bukan hanya untuk diriku namun juga untuk
kedua orang tuaku dan orang-orang yang mengenalku” pintaku disela-sela do’aku.
“Ayo nak, cepat nanti kamu terlambat”, teriak Ayah
dari lantai bawah rumahku. “iya Ayah, tunggu sebentar”, jawabku sambil
tergesa-gesa berlari keluar kamarku. “Maaf ya Ayah, aku sudah buat Ayah
menunggu”, kataku pada Ayah sambil menuruni tangga rumahku menuju lantai bawah.
“tidak apa-apa nak, Ayah juga belum menghabiskan kopi buatan ibumu yang enak
ini”, jawab Ayah membalas perkataanku sambil memegang secangkir kopi hangatnya
dan menatap wajah ibuku tersenyum.
“Ayah tahu nggak, keinginan terbesarku itu apa?”,
tanyaku pada Ayah sambil memakai dasiku. “dari dulu kamu pengen banget jadi
polwan bukan?, setahu Ayah itulah keinginan terbesarmu”, menjawab pertanyaanku
sambil tertawa terbahak-bahak. “kenapa Ayah tertawa?, tanyaku pada Ayah dengan
wajah yang cemberut”. “tidak ada apa-apa nak, kamu itu sudah gendut, pendek,
jauh dari citra seorang polwan yang memiliki tubuh yang langsing dan tinggi”,
jawab Ayah mencoba menggodaku.
“Ayo kita berangkat Ayah”, pintaku pada Ayah
mencoba mengalihkan pembicaraan.
“sarapan dulu”, kata Ayah padaku. “ayolah Ayah, aku udah terlambat”
,kataku pada Ayah sambil mengambil satu roti bakar buatan Ibuku. “salim dulu
sama Ibumu”, kata Ayah mengingatkanku. “iyah Ayah, Ibu aku pergi dulu yah”,
sambil mencium tangan Ibuku dan bergegas berlari ke luar rumahku.
Ayah bertanya kepadaku sambil masuk dan memanaskan
mobil untuk mengantarku ke sekolah, “ngomong-ngomong nih nak, kenapa kamu
bertanya tentang keinginan terbesarmu pada Ayah?”. “tidak Ayah, sebenarnya, itu
bukan keinginan terbesarku”, Jawabku sambil naik keatas mobil . “terus apa
keinginan terbesarmu nak?”, tanya Ayah kembali padaku. “aku hanya ingin
membahagiakan Ayah dan Ibu, bukan hanya itu Ayah aku ingin jadi orang yang bisa
membuat orang-orang yang mengenalku bahagia, aku ingin melihat mereka tersenyum
karena aku, walaupun kadang dengan tindakan-tindakan bodohku, Ayah aku ingin
melihat saudara-saudaraku yang diluar sana bisa merasakan yang namanya
kebahagiaan, aku tak ingin melihat kesengsaraan dalam kehidupanku Ayah, aku
lelah melihat mereka yang berjalan dari pagi buta hingga menjelang malam hanya
untuk sesuap nasi, sedangkan aku, aku bisa mendapatkan semua yang aku inginkan
hanya dengan kata, Ayah aku minta ini dan itu, rasanya itu tak adil Ayah”,
Menjawab pertanyaan Ayahku dengan mimik wajah yang serius.
“Putriku, Ayah tak tahu mengapa kamu bisa
berbicara seperti itu, tapi Ayah yakin jika kamu berusaha kamu bisa mewujudkan
itu semua, Ayah tidak pernah melarangmu untuk bermimpi, bermimpilah Ayah tahu
tujuanmu itu sangatlah mulia anakku, lalu bagaimana nanti kamu mewujudkan itu
semua?”, tanya Ayah serius padaku sambil tetap menyetir mobil. Aku menjawab
pertanyaan Ayah, “Ayah, mungkin untuk sekarang semua ini masih hanyalah mimpi,
tapi aku janji Ayah, aku akan berusaha untuk mewujudkan itu semua, aku akan
buktikan pada Ayah, kalau aku bukan sekedar pemimpi, aku akan jadi anak yang Ayah
inginkan”. “iyah nak, Ayah percaya itu”. jawab Ayah tersenyum mendengar
perkataanku. Lama tak ada suara aku kembali memulai pembicaraan “Ayah tau nggak
aku itu pengen banget jadi Ibu pre” .” tuh sudah sampai, hati-hati yah, nih
uang jajanmu, jangan lupa nabung yah”, kata Ayah padaku memotong pembicaraanku.
“hhhmmm.. iya deh yah”, kataku kembali pada Ayah sambil mencium tangan Ayah.
“Assalamualaikum”, sapaku semangat sambil masuk ke
kelas X.3. “waalaikumsalam”, sahut teman-temanku menjawab salamku. “Oki, Oki”, sahut
teman sekelasku memanggil namaku. “ada apa Tiara?”, kataku kepada tiara sambil
berjalan ke arah Tiara. “nih Oki ada informasi untuk kamu, pasti kamu senang
deh dengar infonya”, kata Tiara padaku sambil tersenyum-senyum semangat.
“Memang ada apa Tiara”, tanyaku penasaran kepada Tiara. “beritahu nggak yah”,
kata Tiara berusaha untuk membuatku penasaran. “ayolah Tiara, apaan sih?,
beritahu aku donk, please”, rengekku pada tiara dengan sedikit memaksa. “kamu
dapat peringkat pertama loh ki di kelas, terus masuk kelas khusus, sepuluh
sembilan ki, cieh yang baru dapat ranking pertama”, kata Tiara menjawab
pertanyaanku mencoba membuatku GR. “apaan sih Tiara nggak lucu tahu”, kataku
pada Tiara sambil menunjukkan ekspresi muka yang cemberut. “emang bener”, kata Tiara
mengejekku. “ah. Nggak percaya”, jawabku sambil berjalan meninggalkan Tiara.
Seharian ini aku hanya termenung mengingat
perkataan Tiara, ada rasa senang, bangga, takut, sedih, semua bercampur aduk. Sampai
akhirnya aku mendengar suara bel berbunyi, aku, Tiara, Clara, Rika, dan Rara,
pergi berbelanja bersama, setelah berbelanja kami kembali ke kelas untuk
sekedar makan bersama. “Oki, Oki”, sahut Sani memanggilku dari balik jendela
kelas. “kenapa Sani?, Ada masalah?”, tanyaku sambil mengahmpirinya. “kamu
dipanggil Ibu Rabiah untuk ke ruang guru”, kata Sani padaku sedikit menurunkan
volume suaranya dan tersenyum. “iyah, aku akan segera ke sana, makasih yah Sani”,
kataku kepada Sani sambil tersenyum membalas senyumnya.
“Clara temenin aku donk, aku dipanggil ke ruang
guru”, pintaku pada Clara sambil memegang tangannya. “Ada yang salah yah?”,
kata Clara padaku sambil memperhatikan cara berpakaianku. “ada apa sih Clara
kenapa kamu melihat aku seperti itu?”, tanyaku pada Clara sedikit kebingunan.
“nggak, siapa tahu kamu dipanggil ke ruang guru karena melanggar lagi”, jawab Tiara
sambil tersenyum mencoba membuatku khawatir. “ah jangan ngaco deh, jangan buat
aku takut seperti itu donk”, kataku pada Tiara dengan wajah yang pucat.
“Assalamualaikum”, suaraku bergema ketika memasuki
ruangan guru. “waalaikum salam nak”, terdengar suara Ibu Rabiah menjawab
salamku. “katanya Ibu memanggil saya?”, tanyaku pada Ibu Rabiah. “iyah nak aku
memanggilmu, ada sesuatu yang ingin ku bicarakan denganmu, kamu mendapat
peringkat pertama di kelas, terus hari senin kamu sudah bisa pindah kelas ke
X.9, ”, jawab Ibu Rabiah sambil menunjukkanku rapor dan nilai-nilaiku selama
dikelas X .3”. “Nggak percaya, kok bisa”,
bisikku dalam hati. “tapi bu, aku nggak mau pindah ke kelas X.9, aku mau tetap
di kelas X.3” , pintaku pada Ibu Rabiah memelas . “tidak bisa, itu harus nak
mau tidak mau tetap ke kelas X.9”, kata Ibu Rabiah dengan mimik wajah yang
serius. “Ibu aku nggak mau Ibu, aku nggak mau pisah dengan teman-teman di kelas
X.3, tolonglah Ibu, aku nggak mau pindah ke kelas X.9”, kataku pada Ibu Rabiah
dengan mata yang berkaca-kaca. “tapi nggak bisa nak, itu harus.” Ibu Rabiah
kembali menegaskan. “iyah Ibu, nanti hari senin aku pindah ke kelas X.9 bu”,
kataku pada Ibu Rabiah pasrah. “iyah nak, di kelas itu kamu harus lebih bisa
berkembang, sekarang kembalilah ke kelasmu”, kata Ibu Rabiah mencoba
membangkitkan semangatku.
Setelah keluar dari ruang guru aku berjalan
kembali ke kelas bersama Clara, aku berkata kepada Clara, “Clara, please aku nggak
mau pindah, aku nggak bisa tanpa kalian semua”. “nggak bisa Oki kamu harus
pindah, di kelas itulah tempatmu, lagian kita juga masih bisa bertemu, pada
saat jam istirahat dan pulang sekolah”, kata clara padaku mencoba menguatkanku.
“tapi tidak clara itu tidaklah sama”. Kataku membalas perkataan clara.
“Ada apa dengan Oki Clara?”, tanya Rara pada Clara
sambil memegang tanganku. “Oki dapat peringkat pertama di kelas dan hari senin
dia sudah mulai pindah dan belajar di kelas X.9”, kata Clara menjawab pertanyaan
Rara. “bukannya itu bagus ki, banyak loh yang inginkan tempat itu, kamu
beruntung termasuk dua puluh peringkat umum disekolah, itu kebanggaan
tersendiri untukmu ki”, kata Rika mencoba mencoba menghiburku. “tuh kan ki
benar apa yang aku katakan, kamunya sih nggak mau percaya”, kata Tiara memegang
pundakku sambil tersenyum.
“Teman-teman
tahu nggak kenapa aku nangis?, aku nangis bukan karena aku takut harus bersaing
dengan mereka yang hebat, tapi aku nangis takut kehilangan kalian, aku takut
jika aku terlalu sibuk dengan tugasku nantinya aku akan melupakan kalian, aku
nggak mau, aku mau bersama kalian, inilah tempatku walaupun kelas ini tidak se
perfect X.9 yang selalu mendapat pujian aku senang berada disini, aku nyaman
bersama kalian, aku takut akan kehilangan banyak waktu bersama kalian jika
nanti aku masuk kelas X.9”, kataku kepada Tiara, Clara, Rara, dan Rika. “tapi
ki itu tempatmu disanalah kamu ditakdirkan, mungkin ditempat itu kamu bisa jadi
yang lebih baik lagi”, kata Rara padaku. “Rara aku nggak suka sesuatu berjalan
tak sesuai dengan kehendakku, aku kira kamu yang pernah bilang jika sesuatu
yang dipaksakan itu tidak baik?”, tanyaku pada Rara. Rara hanya terdiam seribu
bahasa mendengar perkataanku. disaat teman-temanku sibuk menghibur dan
mensupportku aku malah menenggelamkan diriku dalam keterpurukan yang paling
dalam.
Sekali lagi aku pulang ke rumah dengan keadaan
tidak seperti biasanya, Ayah merasakan perubahanku itu ia menghampiriku dan
bertanya kepadaku, “apa yang telah terjadi nak?, kenapa kamu murung?”. Aku
menjawab pertanyaan Ayah, “aku mendapat peringkat pertama di kelas Ayah, dengan
alasan itu pula lah aku harus pindah kelas ke X.9, tempat yang tak kuharapkan Ayah”.
“Ingat nggak, tadi pagi kamu berjanji untuk
membahagiakan Ayah dan Ibumu, kalau begitu jangan sedih, ini satu langkah untuk
membahagiakan Ayah, Ayah bangga padamu nak, tadi pagi kamu juga mengatakan
bahwa kamu ingin jadi Ibu presiden bukan? ”, kata Ayah padaku sambil tersenyum.
“kok Ayah tahu, padahal tadi pagi itu aku belum sempat bilang keinginan
terbesarku menjadi presiden, dari mana Ayah tahu?, tanyaku pada Ayah penasaran”.
“sepulang mengantarmu ke sekolah, Ayah masuk ke kamarmu untuk mencari hp ibumu
yang kamu gunakan untuk menelpon temanmu tadi malam, tp bukan hp ibumu yang Ayah
temukan melainkan buku harianmu yang lupa kamu tutup, Ayah membaca buku
harianmu itu, jadi sekarang Ayah tahu keinginan terbesarmu itu membahagiakan
semua orang yang mengenalmu, Ayah tak tahu kenapa kamu berpikir membahagiakan
semua orang itu dengan jalan menjadi presiden”. Kata Ayah kepadaku sambil
mengelus-elus kepalaku.
“Aku seperti remaja-remaja lainnya Ayah, senang
bersahabat dan kadang-kadang tenggelam dalam semua angan dan khayalku, aku
seperti mereka berjalan dengan imajinasi dan kadang berfikir jauh dari logika,
aku mencintai apa yang berada di sekelilingku, aku mencintai allah, Ayah, ibu ,
saudara-saudaraku, dan teman-temanku, aku berusaha jadi apa yang mereka
inginkan Ayah, jadi seseorang yang bisa buat mereka tersenyum, aku
seperti kebanyakan dari mereka, aku yang selalu sedih melihat saudara-saudaraku
yang berada diluar sana, yang tak
seberuntung kehidupanku Ayah, dalam sela-sela hariku aku minta kepada tuhan,
kapan saudara-saudaraku yang berada di luar bisa menikmati kehidupan yang lebih
baik dari apa yang aku saksikan sekarang ini, pengen aku mengadu tapi aku tak
tahu aku harus mengadu kemana Ayah, Ayah adakah keajaiban yang dapat mengubah
kehidupan mereka ..??? Ayah tahu indonesia itu hebat bukan, indonesia memiliki keindahan
yang tak bisa aku ungkapkan dengan kata-kata entahlah kata yang paling sering
aku gunakan saat aku sudah tak mampu lagi mengutarakan apa yang ada di kepalaku,
itu terlalu indah diungkapkan oleh lisanku Ayah, tapi di balik keindahan
negeriku, terlihat jelas saudara-saudaraku yang belum bisa merasakan semua
keindahannya Ayah, yang belum bisa menikmati apa yang menjadi haknya, aku
memang anak-anak Ayah yang kata orang itu belum bisa mengerti bagaimana
kehidupan itu berjalan, aku memang seperti yang mereka katakan Ayah, hanya bisa
mengikuti kemana kehidupan itu mengalir, tapi dalam setiap aliran itu dalam
tiap hari dan nafasku aku berusaha untuk menjadi manusia yang lebih baik lagi,
belajar dari apa yang aku lewati di hari-hari kemarinku, belajar untuk
mengambil hikmah dari setiap kejadian yang aku lewati, dan ku jadikan hikmah
itu sebagai pelajaran bagaimana aku bisa berdiri dengan tegap di esok hariku, aku
berusaha meyakinkan diriku untuk selalu mengambil hal positif dalam
kehidupanku, dalam hal yang serumit dan
yang paling sial pun aku tetap berusaha berfikir positif , Ayah yang
mengajarkanku itu semua, menjadikan semua cerita tentang kehidupanku suatu
kejadian yang pantas untuk di ceritakan., aku memang anak kecil Ayah, tapi aku
ingin membuat sesuatu yang besar, aku akan mengubah prinsip orang-orang kalau
anak kecil itu tidak bisa mengerti jalan kehidupan, aku mau orang lain
menghargai kehadiranku didunia ini , aku memang tak bisa berbuat hal yang
istimewa Ayah. aku yakin suatu saat nanti aku bisa membuat hal yang besar bukan
hanya untuk diriku sendiri namun juga untuk Ayah, ibu, dan semua orang-orang
yang mengenalku”, kataku pada Ayah mengungkapkan semua mimpi-mimpiku itu.
“
kalau begitu masuklah ke kelas itu Ayah mendukungmu, semua orang mendukungmu,
kamu ingin jadi pemimpin bukan?, kamu harus bisa menjadi pemimpin untuk dirimu
sendiri sebelum kamu menjadi pemimpin
untuk orang lain, jangan cengeng, hidup itu tidak selalu indah dan tidak
selamanya pahit, itu adalah satu jalan, jalan kamu membahagiakan Ayah, ibu, dan langkah untuk saudara-saudaramu yang
menunggu kamu , kamu memiliki tujuan yang baik, jadikanlah tujuanmu itu sebagai
motivasi untukmu nak, semoga kelak orang-orang akan mengenalmu dengan semua
tujuan dan kebaikanmu”, kata Ayah tersenyum lalu memelukku.
“Mungkin aku tak
pantas atau inilah takdirku, aku menjalaninya dan berharap saja bahwa dibalik
semua ini Allah telah menyelipkan sebuah hikmah untukku”. Tak terasa kini dua
minggu aku meninggalkan kelas X.3 mencoba bersaing dengan orang-orang terpilih
yang mungkin jauh lebih bisa daripada aku, seperti satu minggu yang lalu
hari-hari kulewati hanya dengan tumpukan tugas, tugas, dan tugas, melelahkan
tapi di sinilah aku belajar bersabar, aku hanya berusaha untuk selalu berpikir
bahwa Allah itu adil dan Allah mungkin telah menggariskan sesuatu yang lebih
baik lagi untukku. Lelah menerpaku tapi aku tetap tersenyum menutupi semuanya,
berusaha tegar seperti karang yang diterpa ombak membuat aku berubah jadi sifat
yang paling aku benci egois dan munafik.
Aku pulang
bersama teman-teman X.3, merekalah yang bisa membuat aku melupakan sedikit
lelahku, tertawa bersama membuat aku melupakan semua persaingan yang membuat
aku terlihat sedikit berubah. Ayah, Clara, Rara, Rika, dan Tiara merekalah yang
bisa buat aku bertahan di kelas X.9 karena support dan dukungannya lah sehingga
aku masih bisa seperti sekarang ini.
By : Syahrah Rugaya Hamsah
Follow On Twitter: @syahrah_ugha




Tidak ada komentar:
Posting Komentar