MusicPlaylistView Profile
Create a playlist at MixPod.com

Rabu, 03 Oktober 2012

Mimpi Dan Persahabatanku






     Matahari belum muncul dari ufuk timur, aku terbangun dari tidur panjangku, bergegas aku menuju kekamar mandi untuk mengambil wudhu dan segera melaksanakan shalat. Makasih ya Allah, engkau masih memberi hamba kesempatan untuk menikmati pagimu yang cerah ini, semoga dihari ini aku bisa menjadi yang lebih lagi dari hari-hari kemarinku, semoga hariku bisa membawa berkah, bukan hanya untuk diriku namun juga untuk kedua orang tuaku dan orang-orang yang mengenalku” pintaku disela-sela do’aku.
“Ayo nak, cepat nanti kamu terlambat”, teriak Ayah dari lantai bawah rumahku. “iya Ayah, tunggu sebentar”, jawabku sambil tergesa-gesa berlari keluar kamarku. “Maaf ya Ayah, aku sudah buat Ayah menunggu”, kataku pada Ayah sambil menuruni tangga rumahku menuju lantai bawah. “tidak apa-apa nak, Ayah juga belum menghabiskan kopi buatan ibumu yang enak ini”, jawab Ayah membalas perkataanku sambil memegang secangkir kopi hangatnya dan menatap wajah ibuku tersenyum.
“Ayah tahu nggak, keinginan terbesarku itu apa?”, tanyaku pada Ayah sambil memakai dasiku. “dari dulu kamu pengen banget jadi polwan bukan?, setahu Ayah itulah keinginan terbesarmu”, menjawab pertanyaanku sambil tertawa terbahak-bahak. “kenapa Ayah tertawa?, tanyaku pada Ayah dengan wajah yang cemberut”. “tidak ada apa-apa nak, kamu itu sudah gendut, pendek, jauh dari citra seorang polwan yang memiliki tubuh yang langsing dan tinggi”, jawab Ayah mencoba menggodaku.
“Ayo kita berangkat Ayah”, pintaku pada Ayah mencoba mengalihkan pembicaraan.  “sarapan dulu”, kata Ayah padaku. “ayolah Ayah, aku udah terlambat” ,kataku pada Ayah sambil mengambil satu roti bakar buatan Ibuku. “salim dulu sama Ibumu”, kata Ayah mengingatkanku. “iyah Ayah, Ibu aku pergi dulu yah”, sambil mencium tangan Ibuku dan bergegas berlari ke luar rumahku.
Ayah bertanya kepadaku sambil masuk dan memanaskan mobil untuk mengantarku ke sekolah, “ngomong-ngomong nih nak, kenapa kamu bertanya tentang keinginan terbesarmu pada Ayah?”. “tidak Ayah, sebenarnya, itu bukan keinginan terbesarku”, Jawabku sambil naik keatas mobil . “terus apa keinginan terbesarmu nak?”, tanya Ayah kembali padaku. “aku hanya ingin membahagiakan Ayah dan Ibu, bukan hanya itu Ayah aku ingin jadi orang yang bisa membuat orang-orang yang mengenalku bahagia, aku ingin melihat mereka tersenyum karena aku, walaupun kadang dengan tindakan-tindakan bodohku, Ayah aku ingin melihat saudara-saudaraku yang diluar sana bisa merasakan yang namanya kebahagiaan, aku tak ingin melihat kesengsaraan dalam kehidupanku Ayah, aku lelah melihat mereka yang berjalan dari pagi buta hingga menjelang malam hanya untuk sesuap nasi, sedangkan aku, aku bisa mendapatkan semua yang aku inginkan hanya dengan kata, Ayah aku minta ini dan itu, rasanya itu tak adil Ayah”, Menjawab pertanyaan Ayahku dengan mimik wajah yang serius.
“Putriku, Ayah tak tahu mengapa kamu bisa berbicara seperti itu, tapi Ayah yakin jika kamu berusaha kamu bisa mewujudkan itu semua, Ayah tidak pernah melarangmu untuk bermimpi, bermimpilah Ayah tahu tujuanmu itu sangatlah mulia anakku, lalu bagaimana nanti kamu mewujudkan itu semua?”, tanya Ayah serius padaku sambil tetap menyetir mobil. Aku menjawab pertanyaan Ayah, “Ayah, mungkin untuk sekarang semua ini masih hanyalah mimpi, tapi aku janji Ayah, aku akan berusaha untuk mewujudkan itu semua, aku akan buktikan pada Ayah, kalau aku bukan sekedar pemimpi, aku akan jadi anak yang Ayah inginkan”. “iyah nak, Ayah percaya itu”. jawab Ayah tersenyum mendengar perkataanku. Lama tak ada suara aku kembali memulai pembicaraan “Ayah tau nggak aku itu pengen banget jadi Ibu pre” .” tuh sudah sampai, hati-hati yah, nih uang jajanmu, jangan lupa nabung yah”, kata Ayah padaku memotong pembicaraanku. “hhhmmm.. iya deh yah”, kataku kembali pada Ayah sambil mencium tangan Ayah.
“Assalamualaikum”, sapaku semangat sambil masuk ke kelas X.3. “waalaikumsalam”, sahut teman-temanku menjawab salamku. “Oki, Oki”, sahut teman sekelasku memanggil namaku. “ada apa Tiara?”, kataku kepada tiara sambil berjalan ke arah Tiara. “nih Oki ada informasi untuk kamu, pasti kamu senang deh dengar infonya”, kata Tiara padaku sambil tersenyum-senyum semangat. “Memang ada apa Tiara”, tanyaku penasaran kepada Tiara. “beritahu nggak yah”, kata Tiara berusaha untuk membuatku penasaran. “ayolah Tiara, apaan sih?, beritahu aku donk, please”, rengekku pada tiara dengan sedikit memaksa. “kamu dapat peringkat pertama loh ki di kelas, terus masuk kelas khusus, sepuluh sembilan ki, cieh yang baru dapat ranking pertama”, kata Tiara menjawab pertanyaanku mencoba membuatku GR. “apaan sih Tiara nggak lucu tahu”, kataku pada Tiara sambil menunjukkan ekspresi muka yang cemberut. “emang bener”, kata Tiara mengejekku. “ah. Nggak percaya”, jawabku sambil berjalan meninggalkan Tiara.
Seharian ini aku hanya termenung mengingat perkataan Tiara, ada rasa senang, bangga, takut, sedih, semua bercampur aduk. Sampai akhirnya aku mendengar suara bel berbunyi, aku, Tiara, Clara, Rika, dan Rara, pergi berbelanja bersama, setelah berbelanja kami kembali ke kelas untuk sekedar makan bersama. “Oki, Oki”, sahut Sani memanggilku dari balik jendela kelas. “kenapa Sani?, Ada masalah?”, tanyaku sambil mengahmpirinya. “kamu dipanggil Ibu Rabiah untuk ke ruang guru”, kata Sani padaku sedikit menurunkan volume suaranya dan tersenyum. “iyah, aku akan segera ke sana, makasih yah Sani”, kataku kepada Sani sambil tersenyum membalas senyumnya. 
“Clara temenin aku donk, aku dipanggil ke ruang guru”, pintaku pada Clara sambil memegang tangannya. “Ada yang salah yah?”, kata Clara padaku sambil memperhatikan cara berpakaianku. “ada apa sih Clara kenapa kamu melihat aku seperti itu?”, tanyaku pada Clara sedikit kebingunan. “nggak, siapa tahu kamu dipanggil ke ruang guru karena melanggar lagi”, jawab Tiara sambil tersenyum mencoba membuatku khawatir. “ah jangan ngaco deh, jangan buat aku takut seperti itu donk”, kataku pada Tiara dengan wajah yang pucat.
“Assalamualaikum”, suaraku bergema ketika memasuki ruangan guru. “waalaikum salam nak”, terdengar suara Ibu Rabiah menjawab salamku. “katanya Ibu memanggil saya?”, tanyaku pada Ibu Rabiah. “iyah nak aku memanggilmu, ada sesuatu yang ingin ku bicarakan denganmu, kamu mendapat peringkat pertama di kelas, terus hari senin kamu sudah bisa pindah kelas ke X.9, ”, jawab Ibu Rabiah sambil menunjukkanku rapor dan nilai-nilaiku selama dikelas X .3”. “Nggak percaya, kok bisa”, bisikku dalam hati. “tapi bu, aku nggak mau pindah ke kelas X.9, aku mau tetap di kelas X.3” , pintaku pada Ibu Rabiah memelas . “tidak bisa, itu harus nak mau tidak mau tetap ke kelas X.9”, kata Ibu Rabiah dengan mimik wajah yang serius. “Ibu aku nggak mau Ibu, aku nggak mau pisah dengan teman-teman di kelas X.3, tolonglah Ibu, aku nggak mau pindah ke kelas X.9”, kataku pada Ibu Rabiah dengan mata yang berkaca-kaca. “tapi nggak bisa nak, itu harus.” Ibu Rabiah kembali menegaskan. “iyah Ibu, nanti hari senin aku pindah ke kelas X.9 bu”, kataku pada Ibu Rabiah pasrah. “iyah nak, di kelas itu kamu harus lebih bisa berkembang, sekarang kembalilah ke kelasmu”, kata Ibu Rabiah mencoba membangkitkan semangatku.
Setelah keluar dari ruang guru aku berjalan kembali ke kelas bersama Clara, aku berkata kepada Clara, “Clara, please aku nggak mau pindah, aku nggak bisa tanpa kalian semua”. “nggak bisa Oki kamu harus pindah, di kelas itulah tempatmu, lagian kita juga masih bisa bertemu, pada saat jam istirahat dan pulang sekolah”, kata clara padaku mencoba menguatkanku. “tapi tidak clara itu tidaklah sama”. Kataku membalas perkataan clara.
“Ada apa dengan Oki Clara?”, tanya Rara pada Clara sambil memegang tanganku. “Oki dapat peringkat pertama di kelas dan hari senin dia sudah mulai pindah dan belajar di kelas X.9”, kata Clara menjawab pertanyaan Rara. “bukannya itu bagus ki, banyak loh yang inginkan tempat itu, kamu beruntung termasuk dua puluh peringkat umum disekolah, itu kebanggaan tersendiri untukmu ki”, kata Rika mencoba mencoba menghiburku. “tuh kan ki benar apa yang aku katakan, kamunya sih nggak mau percaya”, kata Tiara memegang pundakku sambil tersenyum.
“Teman-teman tahu nggak kenapa aku nangis?, aku nangis bukan karena aku takut harus bersaing dengan mereka yang hebat, tapi aku nangis takut kehilangan kalian, aku takut jika aku terlalu sibuk dengan tugasku nantinya aku akan melupakan kalian, aku nggak mau, aku mau bersama kalian, inilah tempatku walaupun kelas ini tidak se perfect X.9 yang selalu mendapat pujian aku senang berada disini, aku nyaman bersama kalian, aku takut akan kehilangan banyak waktu bersama kalian jika nanti aku masuk kelas X.9”, kataku kepada Tiara, Clara, Rara, dan Rika. “tapi ki itu tempatmu disanalah kamu ditakdirkan, mungkin ditempat itu kamu bisa jadi yang lebih baik lagi”, kata Rara padaku. “Rara aku nggak suka sesuatu berjalan tak sesuai dengan kehendakku, aku kira kamu yang pernah bilang jika sesuatu yang dipaksakan itu tidak baik?”, tanyaku pada Rara. Rara hanya terdiam seribu bahasa mendengar perkataanku. disaat teman-temanku sibuk menghibur dan mensupportku aku malah menenggelamkan diriku dalam keterpurukan yang paling dalam.
Sekali lagi aku pulang ke rumah dengan keadaan tidak seperti biasanya, Ayah merasakan perubahanku itu ia menghampiriku dan bertanya kepadaku, “apa yang telah terjadi nak?, kenapa kamu murung?”. Aku menjawab pertanyaan Ayah, “aku mendapat peringkat pertama di kelas Ayah, dengan alasan itu pula lah aku harus pindah kelas ke X.9, tempat yang tak kuharapkan Ayah”.
“Ingat nggak, tadi pagi kamu berjanji untuk membahagiakan Ayah dan Ibumu, kalau begitu jangan sedih, ini satu langkah untuk membahagiakan Ayah, Ayah bangga padamu nak, tadi pagi kamu juga mengatakan bahwa kamu ingin jadi Ibu presiden bukan? ”, kata Ayah padaku sambil tersenyum. “kok Ayah tahu, padahal tadi pagi itu aku belum sempat bilang keinginan terbesarku menjadi presiden, dari mana Ayah tahu?, tanyaku pada Ayah penasaran”. “sepulang mengantarmu ke sekolah, Ayah masuk ke kamarmu untuk mencari hp ibumu yang kamu gunakan untuk menelpon temanmu tadi malam, tp bukan hp ibumu yang Ayah temukan melainkan buku harianmu yang lupa kamu tutup, Ayah membaca buku harianmu itu, jadi sekarang Ayah tahu keinginan terbesarmu itu membahagiakan semua orang yang mengenalmu, Ayah tak tahu kenapa kamu berpikir membahagiakan semua orang itu dengan jalan menjadi presiden”. Kata Ayah kepadaku sambil mengelus-elus kepalaku.
“Aku seperti remaja-remaja lainnya Ayah, senang bersahabat dan kadang-kadang tenggelam dalam semua angan dan khayalku, aku seperti mereka berjalan dengan imajinasi dan kadang berfikir jauh dari logika, aku mencintai apa yang berada di sekelilingku, aku mencintai allah, Ayah, ibu , saudara-saudaraku, dan teman-temanku, aku berusaha jadi apa yang mereka inginkan Ayah, jadi seseorang yang bisa buat mereka tersenyum, aku  seperti kebanyakan dari mereka, aku yang selalu sedih melihat saudara-saudaraku yang berada diluar sana,  yang tak seberuntung kehidupanku Ayah, dalam sela-sela hariku aku minta kepada tuhan, kapan saudara-saudaraku yang berada di luar bisa menikmati kehidupan yang lebih baik dari apa yang aku saksikan sekarang ini, pengen aku mengadu tapi aku tak tahu aku harus mengadu kemana Ayah, Ayah adakah keajaiban yang dapat mengubah kehidupan mereka ..??? Ayah tahu indonesia itu hebat bukan, indonesia memiliki keindahan yang tak bisa aku ungkapkan dengan kata-kata entahlah kata yang paling sering aku gunakan saat aku sudah tak mampu lagi mengutarakan apa yang ada di kepalaku, itu terlalu indah diungkapkan oleh lisanku Ayah, tapi di balik keindahan negeriku, terlihat jelas saudara-saudaraku yang belum bisa merasakan semua keindahannya Ayah, yang belum bisa menikmati apa yang menjadi haknya, aku memang anak-anak Ayah yang kata orang itu belum bisa mengerti bagaimana kehidupan itu berjalan, aku memang seperti yang mereka katakan Ayah, hanya bisa mengikuti kemana kehidupan itu mengalir, tapi dalam setiap aliran itu dalam tiap hari dan nafasku aku berusaha untuk menjadi manusia yang lebih baik lagi, belajar dari apa yang aku lewati di hari-hari kemarinku, belajar untuk mengambil hikmah dari setiap kejadian yang aku lewati, dan ku jadikan hikmah itu sebagai pelajaran bagaimana aku bisa berdiri dengan tegap di esok hariku, aku berusaha meyakinkan diriku untuk selalu mengambil hal positif dalam kehidupanku,  dalam hal yang serumit dan yang paling sial pun aku tetap berusaha berfikir positif , Ayah yang mengajarkanku itu semua, menjadikan semua cerita tentang kehidupanku suatu kejadian yang pantas untuk di ceritakan., aku memang anak kecil Ayah, tapi aku ingin membuat sesuatu yang besar, aku akan mengubah prinsip orang-orang kalau anak kecil itu tidak bisa mengerti jalan kehidupan, aku mau orang lain menghargai kehadiranku didunia ini , aku memang tak bisa berbuat hal yang istimewa Ayah. aku yakin suatu saat nanti aku bisa membuat hal yang besar bukan hanya untuk diriku sendiri namun juga untuk Ayah, ibu, dan semua orang-orang yang mengenalku”, kataku pada Ayah mengungkapkan semua mimpi-mimpiku itu.
“ kalau begitu masuklah ke kelas itu Ayah mendukungmu, semua orang mendukungmu, kamu ingin jadi pemimpin bukan?, kamu harus bisa menjadi pemimpin untuk dirimu sendiri sebelum kamu menjadi  pemimpin untuk orang lain, jangan cengeng, hidup itu tidak selalu indah dan tidak selamanya pahit, itu adalah satu jalan, jalan kamu membahagiakan Ayah, ibu,  dan langkah untuk saudara-saudaramu yang menunggu kamu , kamu memiliki tujuan yang baik, jadikanlah tujuanmu itu sebagai motivasi untukmu nak, semoga kelak orang-orang akan mengenalmu dengan semua tujuan dan kebaikanmu”, kata Ayah tersenyum lalu memelukku.
“Mungkin aku tak pantas atau inilah takdirku, aku menjalaninya dan berharap saja bahwa dibalik semua ini Allah telah menyelipkan sebuah hikmah untukku”. Tak terasa kini dua minggu aku meninggalkan kelas X.3 mencoba bersaing dengan orang-orang terpilih yang mungkin jauh lebih bisa daripada aku, seperti satu minggu yang lalu hari-hari kulewati hanya dengan tumpukan tugas, tugas, dan tugas, melelahkan tapi di sinilah aku belajar bersabar, aku hanya berusaha untuk selalu berpikir bahwa Allah itu adil dan Allah mungkin telah menggariskan sesuatu yang lebih baik lagi untukku. Lelah menerpaku tapi aku tetap tersenyum menutupi semuanya, berusaha tegar seperti karang yang diterpa ombak membuat aku berubah jadi sifat yang paling aku benci egois dan munafik.
Aku pulang bersama teman-teman X.3, merekalah yang bisa membuat aku melupakan sedikit lelahku, tertawa bersama membuat aku melupakan semua persaingan yang membuat aku terlihat sedikit berubah. Ayah, Clara, Rara, Rika, dan Tiara merekalah yang bisa buat aku bertahan di kelas X.9 karena support dan dukungannya lah sehingga aku masih bisa seperti sekarang ini. 

By : Syahrah Rugaya Hamsah
Follow On Twitter: @syahrah_ugha

Tidak ada komentar:

Posting Komentar